Akhir-akhir ini warganet Indonesia tengah ramai dengan kata Cappadocia, sebuah tempat wisata di Turki impian Kinan (diperankan oleh aktris Putri Milano) dalam serial film “Layangan Putus”. Namun sayang, impian tersebut pupus karena perilaku suaminya bernama Aris (diperankan oleh Aktor Reza Rahadian) yang mengkhianati pernikahan mereka. Cerita yang diangkat dari kisah nyata ini rupanya telah menguras emosi para penonton hingga terbawa perasaan, termasuk ikut bermimpi mengunjungi Cappadocia, sama seperti mimpi Kinan.
Penulis tidak akan membahas mengenai isi dari serial tersebut secara detil. Namun, yang cukup menarik perhatian adalah bagaimana fenomena yang terjadi pada warganet yang menjadikan Cappadocia sebagai salah satu impian tempat untuk bisa dikunjungi.
Pada Desember 2021, kata Cappadocia sempat menjadi trending topic (Indonesiatoday.co.id). Tidak hanya itu, kalimat “It’s my dream” yang diucapkan Kinan dalam potongan adegan tersebut yang merujuk pada impiannya bisa berkunjung ke Cappadocia menjadi viral di Tik Tok dan Meme di media sosial.
Ada beberapa hal yang dapat kita pahami dari fenomena ini. Pertama, penonton serial film ini merasa terbawa emosi dari beberapa penggalan cerita. Kondisi ini sangat wajar terjadi karena seperti yang dikatakan oleh Shoita & Kalat (2012), emosi merupakan konstruk psikologi yang selalu ada dalam diri seorang manusia. Sifat emosi ini adalah universal sebagai bagian dari reaksi fungsional dari stimulus eksternal mencakup aspek kognisi, fisiologis, perasaan, dan perilaku.
Kedua, adanya keterlibatan emosi yang tinggi dapat memicu seseorang untuk mencoba merasakan apa yang diterima oleh inderanya, baik itu penglihatan, pendengaran maupun perasaan. Impian Kinan yang sirna ke Cappadocia mendorong sebagian penonton membangun rasa penasaran seperti apakah keindahan Cappadocia dengan cara mencari informasi. Dari hasil informasi yang didapat kemudian dikumpulkan sehingga memunculkan keinginan keinginan berkunjung. Pemahaman ini tentu tidak terlepas dari konsep dan teori perilaku konsumen dimana terdapat beberapa tahapan sebelum melakukan atau pengambilan keputusan.
Peran Film
Bukan kali ini saja, fenomena film menjadi sarana pendongkrak destinasi pariwisata. Sepanjang perfilman Indonesia, mungkin kita pernah mengingat film “Laskar Pelangi” dengan lokasi syuting di Pulau Belitung. Bisa dikatakan film inilah yang menjadi tonggak awal perkembangan pariwisata di Pulau Belitung dan secara signifikan jumlah kunjungan ke Belitung meningkat setelah film “Laskar Pelangi” tayang ke publik.
Baca juga:
Siapakah Satrio Piningit Tahun 2024?
|
Film lain yang tak kalah fenomenal adalah film berjudul “GIE”. Sosok Gie pecinta alam memvisualkan keindahan Gunung Pangrango. Setelah film tersebut ditayangkan, Gunung Pangrango menjadi lebih terkenal dan tempat tersebut menjadi lebih banyak dikunjungi. Begitu juga dengan film “5 Cm” yang ditayangkan pada 2012 cukup menarik perhatian penonton dengan pemandangan Gunung Semeru di Jawa Timur.
Demikian pula dengan film “Filosofi Kopi” dengan seting tempat di pemukiman sepi di Ngaglik, Sleman. Kini tempat tersebut telah menjadi buruan pecinta kopi. Pengunjung memiliki keinginan kuat, tak hanya sekadar ingin menikmati kopi. Namun, suasana alam sebagai daya tarik lain.
Baca juga:
Refleksi
|
Tak hanya film dalam negeri yang mampu meningkatkan popularitas sebuah tempat. Beberapa film internasional yang mengambil lokasi syuting di Bali seperti “The Kris”, “The Island of Demonds”, “The Road to Bali” dan “Eat Pray Love”. Film “Eat Pray Love” cukup fenomenal dengan mampu membangun citra Bali, khususnya Ubud sebagai tempat impian yang ingin dikunjungi oleh masyarakat global. Begitu juga film lain seperti “Winter Sonata” yang mampu membangkitkan pariwisata Korea Selatan, terutama Pulau Nami.
Fenomena ini diperkuat dengan beberapa hasil kajian empiris yang menunjukkan hubungan positif antara film terhadap pemasaran pariwisata. Seperti yang dilakukan oleh Hudson dan Ritchie (2006) dalam penelitiannya berjudul “Promoting Destinations” via film “Tourism: An Empirical Identification of Supporting Marketing Initiatives”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa film dapat memiliki pengaruh yang kuat pada pengambilan keputusan wisatawan dan film tidak hanya memberikan pendapatan pariwisata jangka pendek, tetapi kemakmuran jangka panjang ke destinasi.
Penelitian lain dengan hasil yang kurang lebih sama dilakukan oleh Rewtrakunphaiboon (2009) dalam judul penelitian “Film-induced Tourism: Inventing a Vacation to a Location dan Vagionis” dan “Loumioti” (2011). Dikatakan bahwa film dapat berfungsi sebagai alat pemasaran penting dan efektif sebagai strategi promosi destinasi pariwisata.
Cappadocia ala Indonesia
Cappadocia adalah salah satu tempat wisata yang indah yang ada di Turki, tepatnya berlokasi di daerah Kuno Anatolis Timur, sebelah Utara Gunung Taurus. Salah satu atraksi yang menarik dari tempat ini adalah menikmati pemandangan bebatuan dan puluhan balon udara. Bebatuan ini terbentuk dari proses erupsi gunung berapi yang terjadi jutaan tahun lalu. Beragam bentuk bebatuan menyerupai jamur, kerucut, runcing, dan topi menambah keindahan terlebih jika dilihat dari balon udara.
Banyak yang belum tahu kalau di Indonesia pun ada beberapa tempat yang menyerupai atau menawarkan atraksi balon udara, di antaranya atraksi balon udara di Sari Ater, Subang, Jawa Barat; Kawasan Bromo; Bukit Teletubbis Blitar; The Lodge di Maribaya, Bandung dan; Tanah Gajah di Ubud, Bali. Tentu dengan atmosfer yang berbeda dan menawarkan nilai-nilai ke-Indonesia-annya.
Semoga dengan viralnya Cappadocia akan menjadi momentum yang tepat bagi para pelaku usaha dalam menciptakan lapangan kerja baru untuk menggeliatkan wisata domestik yang tidak kalah menarik dengan negara lain. Yakinlah, bukan hanya menawarkan Cappadocia ala Indonesia. Namun, masih banyak potensi wisata Indonesia yang bisa terus diguar dan bisa menyesejahterakan masyarakat. Itulah mimpi kita! (Titing Kartika)
***
Judul: Cappadocia, Film, dan Pemasaran Pariwisata
Penulis: Titing Kartika, S.Pd., M.M., M.B.A.Tourism
Editor: JHK
Profil penulis:
Penulis adalah Dosen STIEPAR YAPARI dan Kepala Lembaga Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat dan Jurnal (LPPMJ). Saat ini penulis sedang menyelesaikan studi program Doktor Manajemen Konsentrasi Pemasaran kajian pariwisata di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Penulis aktif menulis di media massa, baik lokal maupun nasional bertemakan pendidikan, pariwisata, sosial, dan budaya.
Baca juga:
Dalam Demokrasi Musyawarah Itu Dianjurkan
|
Selain praktisi pendidikan, alumni dari Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini juga penulis aktif dalam kegiatan di berbagai komunitas menulis dan konsultan pariwisata. Ia pernah mendapatkan Program Beasiswa Unggulan (PBU) Kemendikbud Program Dual Master Degree di Universitas Sahid Jakarta studi Magister Manajemen Pariwisata dan di Universiti Utara Malaysia (UUM) program Master of Business Administration (MBA) in Tourism and Hospitality Management (2007-2009).
Beberapa karya penulis, baik karya fiksi maupun nonfiksi telah terbit di berbagai media cetak maupun media online. Penulis pun pernah meraih beberapa penghargaan, baik nasional maupun internasional di antaranya meraih the third outstanding paper Asia Tourism Forum (2016), Best Paper Presenter pada 4th International Seminar on Tourism (2020) dan meraih “Writer of the Month” (2021) di Pratama Media News dalam rangka mempromosikan wisata lokal di Indonesia dengan judul “Simfoni Alam di Pasar Wisata Legokawi Cimahi”.
***